TIMES SINGKAWANG, JAKARTA – Saat ini kita telah memasuki bulan Agustus, bulan yang sangat dekat dengan perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia yang jatuh pada tanggal 17 Agustus. Banyak kalangan akan memeriahkan hari bersejarah tersebut, terutama karena tahun ini kita akan merayakan HUT Kemerdekaan Indonesia yang ke-79.
Berbagai sekolah, lembaga, dan instansi pemerintahan sedang mempersiapkan segala sesuatu untuk merayakan hari besar ini. Pemerintah tentu sudah mengadakan rapat-rapat untuk memastikan bahwa upacara pada tanggal 17 Agustus nanti berjalan lancar dan dapat disaksikan oleh seluruh rakyat Indonesia melalui televisi, ponsel, dan perangkat elektronik lainnya.
Upacara kemerdekaan biasanya disiarkan di berbagai stasiun televisi dan diadakan di Istana Presiden Republik Indonesia, yang saat ini dipimpin oleh Presiden Joko Widodo.
Saya juga merasakan semangat kemerdekaan ini. Di sekolah kami, SMA Islam Terpadu Insan Madani 8, para dewan guru telah mengadakan dua kali rapat untuk mempersiapkan perayaan. Rapat pertama diadakan pada hari Senin lalu, dan rapat kedua untuk pemantapan pada hari Selasa.
Kami memutuskan untuk merayakan hari besar ini dengan mengadakan berbagai lomba bagi siswa-siswi SMA IT Insan Madani 8. Lomba-lomba yang akan diadakan antara lain pembacaan puisi, lomba keahlian dirigen, stand-up comedy, yang semuanya bertemakan kemerdekaan dan keindonesiaan. Setiap kelas akan mengutus satu laki-laki dan satu perempuan sebagai perwakilan.
Selain itu, ada juga lomba tarik tambang, estafet gelas, estafet bola pingpong, dan estafet karet. Untuk lomba-lomba ini, setiap kelas harus mengirimkan tujuh laki-laki dan tujuh perempuan. Yang tidak kalah menarik, kami juga mengadakan lomba membuat film pendek bertemakan kemerdekaan, keindonesiaan, dan sosial. Film-film pendek ini akan ditayangkan dan dinilai berdasarkan kreativitas dan kualitasnya.
Meskipun Hari Kemerdekaan masih delapan hari lagi, antusiasme kami dalam mempersiapkan acara ini sudah terasa sangat kuat. Kami ingin memastikan bahwa perayaan ini berjalan meriah dan memberikan kesan mendalam bagi semua yang terlibat.
Semangat Otto Iskandar dalam Memperjuangkan Hak Rakya
Sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia dibacakan, yang menyatakan bahwa Indonesia bebas dari penjajahan, bangsa Indonesia telah lama mengalami pahitnya hidup sebagai bangsa terjajah. Keinginan untuk merdeka semakin kuat karena hidup dalam penjajahan membuat mereka menderita.
Pada masa itu, kemerdekaan dianggap sebagai kebahagiaan tertinggi oleh para pahlawan, yang berjuang dengan berbagai cara, termasuk perang gerilya. Para pahlawan rela mengorbankan darah dan nyawa demi membebaskan Indonesia dari penjajah, karena mereka percaya bahwa tidak ada kebahagiaan jika masih ditindas.
Namun, kemerdekaan yang diinginkan oleh para pendiri bangsa bukan hanya sekadar bebas dari penjajahan, tetapi juga bagaimana kemerdekaan itu menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Penjajahan yang menindas dan mengabaikan hak asasi manusia harus dihapuskan. Merdeka berarti memuliakan manusia dan kemanusiaannya.
Sebagai bangsa yang merdeka, Indonesia memiliki kesempatan untuk menghargai dan memuliakan martabat manusia. Semua ini menjadi dasar sejarah untuk menciptakan kemanusiaan yang adil dan beradab di Indonesia dan dalam komunitas global.
Dalam perjuangan memuliakan harkat kemanusiaan bagi kaum terjajah, terkenanglah nama Otto Iskandar Di Nata. Lahir di Bandung pada 31 Maret 1897, putra Lurah Bojongsoang ini menyelesaikan studinya di Sekolah Guru Hohere Kweekschool di Purworejo. Sejak tahun 1924, ia menjadi guru di Hollandsch-Inlandsche School (HIS) Negeri Pekalongan. Di Pekalongan, Otto aktif dalam organisasi Budi Utomo dan menjadi anggota Dewan Kota Pekalongan. Ia dikenal sebagai pejuang kemanusiaan yang kritis dan peduli pada nasib rakyat, terutama para petani.
Kepeduliannya terhadap nasib petani ditunjukkan dalam "Peristiwa Bendungan Kemuning". Pada saat itu, para petani menjadi korban konspirasi antara penguasa dan pengusaha yang ingin mengambil alih tanah mereka. Tanah yang dimiliki petani Kemuning diambil paksa oleh pengusaha perkebunan Tebu Wonopringgo dengan restu Residen Pekalongan, J.F. Jasper.
Para petani yang menolak menyerahkan tanahnya diancam akan dianggap melawan penguasa, sehingga beberapa dari mereka terpaksa menyerahkan tanahnya. Perkebunan Tebu Wonopringgo merupakan salah satu perkebunan besar di Pekalongan dengan luas lebih dari 1.000 hektare dan dimiliki oleh Ned Handelsmaatch, dengan administratornya J.H. van Blommestein. Perkebunan ini berdiri sejak tahun 1844, pada era Tanam Paksa.
Otto tidak menerima ketidakadilan ini. Ia menuntut agar tanah tersebut dikembalikan kepada rakyat. Namun, Residen Pekalongan yang mendukung pengusaha perkebunan, mengancam akan membuang Otto ke Boven Digul jika ia terus menuntut pengembalian hak rakyat. Otto tidak gentar menghadapi ancaman ini. Ia bahkan berani membongkar kasus penyiksaan kepala polisi terhadap rakyat.
Perjuangan Otto tidak sia-sia; ia berhasil memimpin pendirian Sekolah Kartini dan rakyat bisa memperoleh kembali tanahnya. Residen Pekalongan pun dicopot dari jabatannya. Namun, pada tahun 1928, Otto dipindahkan ke Batavia karena pemerintah kolonial khawatir dengan pengaruhnya yang semakin meluas setelah membela rakyat kecil untuk memperoleh keadilan.
Perjalanan hidup Otto membawanya menjadi guru di HIS Muhammadiyah Batavia dan bergabung dengan Pagoeyoeban Pasoendan. Peran publiknya semakin penting setelah menjadi anggota Dewan Rakyat (Volksraad) antara tahun 1930-1941.
Otto Iskandar Di Nata, dijuluki "Si Jalak Harupat" (Ayam Jantan Pemberani), sering membaca de Express karya Ernest Douwes Dekker di Sekolah Guru Atas Purworejo, meskipun terlarang. Bagi Otto, kemerdekaan adalah sarana untuk mencapai keadilan dan kemanusiaan. Ketika menulis di koran Tjahaja, ia berikrar, "Kalau Indonesia Merdeka boleh ditebus dengan jiwa seorang anak Indonesia." Tragisnya, Otto wafat dengan cara mengenaskan; ia diculik oleh laskar yang menjadi kaki tangan kepentingan tertentu dan dibunuh di Mauk, Tangerang. Jasadnya tidak diketahui dan dibuang entah ke mana.
Setiap langkah dan tindakan Otto mencerminkan semangat kemanusiaan yang adil dan beradab. Ia percaya bahwa kehidupan manusia tidak dapat berjalan harmonis tanpa rasa kepedulian dan cinta terhadap sesama. Hidup bersama dengan cinta berarti menghargai setiap individu dengan menjunjung tinggi hak asasi mereka, serta menegakkan kemerdekaan, perdamaian dunia, keadilan, dan moralitas.
Pelajaran Yang Dapat Dipetik dari Perjuangan Seorang Otto Iskandar
Pelajaran yang bisa kita ambil dari perjuangan Otto Iskandar Di Nata dalam perayaan HUT Indonesia yang ke-79 adalah: Pertama, Keadilan dan Kemanusiaan: Otto berjuang untuk keadilan dan kemanusiaan, terutama dalam membela hak-hak petani yang tanahnya diambil secara paksa oleh penguasa dan pengusaha. Kita diingatkan untuk selalu memperjuangkan keadilan dan menghormati hak asasi setiap individu.
Kedua, Keberanian Melawan Ketidakadilan: Otto tidak gentar menghadapi ancaman dan terus berjuang untuk mengembalikan hak-hak rakyat. Semangat ini mengajarkan kita untuk berani melawan ketidakadilan dan memperjuangkan kebenaran, meskipun menghadapi risiko besar.
Ketiga, Pendidikan sebagai Alat Perjuangan: Otto berperan penting dalam mendirikan Sekolah Kartini dan menjadi guru yang aktif dalam pendidikan. Ini menunjukkan bahwa pendidikan adalah kunci untuk membangun kesadaran dan memperkuat perjuangan kemerdekaan serta hak asasi manusia.
Keempat, Komitmen Terhadap Kemerdekaan: Otto percaya bahwa kemerdekaan adalah sarana untuk mencapai keadilan dan kemanusiaan. Ini mengingatkan kita bahwa kemerdekaan yang kita nikmati harus diisi dengan usaha untuk memajukan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan bagi semua.
Kelima, Pengorbanan Demi Bangsa: Tragisnya, Otto akhirnya wafat dengan cara mengenaskan demi memperjuangkan kemerdekaan dan keadilan. Pengorbanannya menginspirasi kita untuk selalu siap berkorban demi kepentingan bangsa dan negara.
Keenam, Semangat Kolektif dan Kebersamaan: Otto menunjukkan bahwa hidup harmonis memerlukan rasa kepedulian dan cinta terhadap sesama. Ini mengajarkan pentingnya solidaritas dan kerja sama dalam membangun bangsa yang lebih baik.
Dengan merefleksikan nilai-nilai perjuangan Otto Iskandar Di Nata, kita bisa lebih menghargai arti kemerdekaan dan berkomitmen untuk terus memperjuangkan keadilan, kemanusiaan, dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. (*)
***
*) Oleh : Muhammad Saukani, Magister Bahasa dan Sastra Arab Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Otto Iskandar Di Nata: Inspirasi di Balik Perayaan 17 Agustus
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |